iklan1

Wednesday, June 3, 2015

Kasih Ibu Sepanjang Masa

KASIH IBU TAK LEKANG OLEH WAKTU

KASIH IBU
KASIH IBU

KASIH-- Halo sahabat yang budiman kali ini, saya arnold akan berbagi sedikit akan sebuah cerita inpiratif tentang betapa mulianya seorang ibu, kasihnya selalu menemani sepanjang masa. buat kita renungkan cerita ini apakah kita sudah mencintai ibu kita sepenuh hati, atau terkadang kita banyak menyakiti hatinya, membuatnya menangis karena sikap kita, mari kita simak kisah ini semoga dapat membuat kita jadi pribadi-pribadi yang lebih menghargai seorang ibu, mengasahinya tanpa lekang oleh waktu......
sahabat ku tahukah anda seberapa besarnya kasih ibu kepada anaknya? Ibu adalah seseorang yang telah melahirkan kita, sembilan bulan beliau mengandung. Kemana-kemana selalu dibawa dengan susah payah, seorang ibu tidak mengitu putus asa meskipun terasa berat dan susah untuk melakukan sesuatu. Mandi dibawa, makan dibawa, memasak juga dibawa dan dan tidurpun dibawa sehingga sulit untuk tidur dengan posisi yang enak karena sang ibu susah dengan perut yang besar. Begitu besar pengorbanan seorang ibu hanya untuk sang anak buah hatinya.
Sadarkah kita bahwa sesungguhnya seorang ibu adalah orang yang sangat berharga dan harta yang paling sempurna didunia ini. Dalam ajaran agama dunia banyak tertulis bahwa “surga itu ad dibawah telapak kaki ibu” surga berada dibawah kaki ibu maksudnya kita tidak boleh durhaka pada ibu kita.
Sungguh mulia pengorbanan ibu kita untuk mempertahankan agar anaknya lahir kedunia dengan selamat, apakah anda berfikir ketika ibu anda sedang berjuang mati-matian demi anak yang dilahirkan, jawa yang dipertaruhkan. Beliau rela jawanya diambil hanya demi seorang anak tercinta.
Pepatah mengatakan “kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah” pepatah ini memang membuktikan bahwa seorang ank tidak seperti kasih seorang ibu. Ada 2 contoh bahwa kasih ibu lebih kuat dibandingkan kasih anak, 

Contoh 1, disuatu hari ada seorang anak kecil sedang bermain dipinggir laut karena arusnya tinggi anak tersebut dibawa arus ke tengah laut dan ibunnya sedang melihatnya  dan tanpa berpikir panjang sang ibu langsung lari ketengah laut untuk menolong anaknya padahal itu juga akan membahayakan dirinya sendiri. Itulah kasih ibu sepanjang masa.
Dan contoh ke 2, suatu hari ada seorang ibu sedang mencuci baju didekat sumur, ketika sang ibu mengambil air disumur tiba-tiba kakinya tergelincir karena licin dan tubuh seorang ibu jatuh kedalam subur, sang  anak melihat ibunya jatuh kedalam sumur, tapi anaknya berteriak untuk meminta pertolongan tetangganya dan bingung mencari tangga yang panjang agar sampai kedalam sumur untuk menolong ibunya.
Dari 2 contoh diatas dapat disimpulkan bahwa seorang ibu adalah malaikat untuk anaknya, tapi kalau seorang anak kasih sayangnya hanya sepanjang gala. Kalau kita mengetahui arti ibu yang sebenarnya dialah malaikat kita didunia, disaat kita sedih, disaat kita sakit ibulah yang meneteskan air mata, dan menghiburnya, jasa ibu tidak akan terbalas sampai kapanpun, mumpung ada kesempatan ibumu masih hidup bahagiakanlah beliau

saya atas nama cinta kepada ibu berpesan kepada sahabat pembaca sekalian, sayangilah ibu kalian, bahagiakan ia selagi nafas masih dikandungnya dan selagi nafasmu mash di kandung badan...
bagikan atau share cerita ini....

Saturday, May 5, 2012

Pensil Untuk Secilia

             Aku paling senang melihat senyuman manisnya. Senyuman khas anak kecil yang polos dan lucu. Senyuman yang bisa membuat semua lelahku langsung hilang dan berganti dengan sejuta sukacita. Namanya Anastasia Cecilia. Aku sering memanggilnya dengan nama Cecil. Kalo saja sore itu aku ngga nganterin pacarku ke salah satu Rumah Sakit yang ada di daerah Tangerang, mungkin aku ngga akan kenal dia. Mengenal Cecil merupakan salah satu anugerah bagi aku. Aku belajar banyak hal dari dia. Belajar tentang hidup! Meski usianya baru 7 tahun. Pacarku pernah cemburu karena aku keasyikan ngobrol dan bercanda dengannya. Anaknya menyenangkan dan beda dari anak lainnya yang seusia dengannya.
           Aku sangat senang kalo harus bisa mengantar pacarku untuk mengikuti terapi karena itu artinya aku bisa ketemu dengan Cecil. Meski di sisi lain aku juga sedih karena pacarku ngga kunjung sembuh. Tapi paling ngga dengan adanya Cecil, aku bisa melupakan sejenak kesedihanku itu.
Karena bete harus menunggu lama pacarku mengikuti terapi aku memutuskan untuk minum secangkir kopi di warung yang ada di depan Rumah Sakit. Di saat aku sedang menikmati secangkir kopi hangat, aku tanpa sengaja melihat gadis belia yang kumuh sedang bermain air got. Dia hanya sendiri.
        “Hei, ngapain main air comberan?” tanya salah seorang penjual yang melihat aksinya. Dia hanya menatap pemilik suara tersebut lalu berjalan menjauh. Dia hanya sendiri. Hati kecil ku bertanya, “kemana orang tua anak ini?”
Dengan buru-buru aku menghabiskan sisa kopi yang masih tersisa lalu membayar harga kopi itu dan langsung mengikuti langkah si bocah cantik itu.
               Dia berjalan dengan langkah yang semangat sambil bernyanyi riang dan menari. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arahku. Aku spontan menghentikan langkah kakiku. Dia tersenyum manis. Lalu dia menghampiriku.
“Kakak kenapa ikutin aku? Kakak mau lihat boneka aku ya? Nama kakak siapa?”
Astaga! Betapa ramahnya dia sama aku yang dia ngga kenal sama sekali. Apa dia ngga takut kalo gaku penculik anak?
“Kakak!” Sapaannya membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum kepadanya. Dia memegang tanganku.
“Kakak, namanya siapa?” tanyanya dengan senyuman manis yang menimbulkan lesung pipi di ujung kedua sisi bibirnya.
“Kak Dewantara. Kamu bisa panggil kakak dengan nama…..”
“Tara?” potongnya cepat.
                 Aku hanya menganggukan kepalaku.
“Kakak mau ngga liahat bonekaku? Bonekaku lucu loh!”
“Emang bonekanya ada dimana?”
“Dirumah!”
“Kamu tinggal dimana?”
“Ikut aku aja kak. Nanti kakak akan tau! Maukan?” Ajaknya.
“Oke deh, tapi kakak ngga bisa lama-lama ya?”
“Okelah kalo begitu,” ucapnya sambil tertawa.
Aku berjalan berdampingan dengannya.
             “Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga….” suaranya yang merdu beralun menghiasi sore hari.
Aku terhenyak ketika melihat gubuk yang terbuat dari sisa seng bekas dan kayu tua yang membentuk seperti kotak besar. Disanalah Cecil tinggal bersama neneknya yang dimakan usia. Aku sendiri merasa itu bukan rumah. Bayangkan tingginya hanya satu meter dan ukurannya hanya 2×3 meter.
“Kak, aku tinggal disini ama nenek.” ucapnya tanpa malu.
Entah kenapa aku menangis.
Dia masuk lalu keluar lagi dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna coklat.
“Kak, ini bonekaku. Kalo aku bobo pasti ditemanin ama boneka ini.”
Aku menyentuh boneka itu yang penuh dengan debu. Terdengar dari dalam suara neneknya yang batuk.
                  Astaga! Nenek tua yang harusnya menikmati masa tuanya harus ada ditempat yang seperti ini?. Berjalan dengan waktu, aku baru tau ternyata Kedua orang tua Cecil meninggal dunia karena kecelakaan. Dan dua bulan kemudian rumah mereka harus digusur. Satu-satunya tempat berteduh adalah gubuk kecil yang benar-benar tidak layak. Mereka hanya makan dari belas kasihan orang.
Aku memeluk Cecil. Di usianya yang masih kecil dia sudah harus merasakan kerasnya hidup ini. Karena sudah terbiasa dengan yang dialaminya makanya dia ngga merasa menderita. Dia menikmati apa yang harus dijalaninya. Dia bernyanyi dan menari. Menghafal lagu dari teman-temannya yang suka ngamen dan mereka tinggal ngga jauh dari gubuk tempatnya tinggal.
####################################################
Tiga minggu kemudian.
“Cecil, mau sekolah ngga?”
“Mau!” jawabnya dengan mata yang bersinar-sinar.
Cecil yang ada dihadapanku jauh berbeda dari yang pertama kali aku lihat. Dia suka mencium rambut panjangnya. Sejak aku membelikannya sabun mandi dan sampo, dia tidak terlihat kumul lagi. Dia suka mencium rambutnya yang berbau sampo. Sabun mandi dan sampo seperti barang yang sangat berharga baginya. Aku tidak pernah bertanya, kapan terakhir kali dia mandi dengan memakai sabun dan sampo. Minggu lalu aku mengajaknya ke mal untuk membelikannya baju. Aku ngga mau meberikannnya baju bekas atau kata orang baju layak pakai. Karena aku merasa dia adalah adikku sendiri. Hanya saja aku tidak bisa menampungnya karena orang tuaku tidak mengizinkan.
“Tapi Cecil ngga punya pencil buat nulis?”
“Nanti kakak akan belikan untuk kamu.”
“Baju juga? Sepatu juga kan?”
“Iya!”
“Tas warna pink juga ya kak?”
“Pasti kakak belikan deh.”
“Janji?”
“Kakak janji!” kataku lalu kedua jari kelingking kami saling menyatu.
              Aku memeluknya lalu kemudian memangkunya. Aku meceritakan cerita dongeng untuknya. Cerita dongeng yang tak pernah didengarnya.
“Cecil kapan sekolahnya?” tanyanya setelah aku selesai mendongeng.
“Bulan depan.”
“Kenapa ngga besok aja?”
Aku harus memutar otakku untuk mencari jawaban yang tepat.
“Karena sekolahnya baru buka pendaftaran bulan depan.”
“Pendaftaran itu apa kak?”
“Mhmmm…Pendaftaran itu nama kamu dicatat di buku.” jawabku dengan kepala yang berat mencari kata-kata yang sederhana dan dimengerti olehnya.
“Kakak…Kenapa aku ngga boleh tinggal ama kakak? Aku disini kalo malam dingin loh! Apa lagi kalo hujan.”
Astaga! Lagi-lagi aku menangis.
“Nanti kalau kakak punya rumah sendiri, kamu bisa tinggal sama kakak.”
“Kapan?”
“Satu saat nanti…”
“Ow…”
Kami diam dengan pikiran kami masing-masing.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
“Besok sore. Ok?”
“Janji ya? Bohong itu dosa loh!”
“Janji!”
Entah kenapa, aku senang bisa bersama dengan Cecil. Tapi yang pasti aku bahagia bisa melihat senyumnya. Aku suka dengan kepolosannya.
#############
Keesokannya ketika aku menemani pacarku untuk ikut terapi seperti biasanya tanpa sengaja aku melihat sosok gadis kecil yang aku kenal. Gadis kecil yang sedang dibawa ke UGD. Aku mencoba memastikan apa yang aku lihat.
Rasanya langit seperti runtuh dan menimpaku. Itu Cecil. Tangan kanannya penuh dengan darah. Belakangan aku baru tau kalau dia kecelakaan dan tangan kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus diamputasi.
Kantong plastik yang berisi tas pink dan perlengkapan tulis terlepas dari tanganku. Masih terngiang dikepalaku percakapan kami kemaren.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
Ketika aku menjenguknya dengan pacarku keesokan harinya, aku melihat tubuh mungilnya terbaring dengan lemah. Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Cecil?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Cecil sakit sekali. Tangan Cecil kenapa dipotong? Kan Cecil mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Cecil.
“Cecil pasti sembuh!” kata pacarku mencoba menghiburnya.
“Kalo Cecil sembuh itu artinya tangan Cecil tumbuh lagi ya?”
Pacarku yang berdiri dibelakangku memegang erat pundakku. Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Cecil.
“Iya, Cecil lupa. Cecilkan bisa menulis pakai tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata pacarku jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa membayangkan kalo aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Cecil. Dia tetap optimis meski dia sendiri tidak tau arti optimis itu apa.
“Nanti kakak akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?” tanyanya.
“Kalau kamu sembuh nanti.”
“Kakak, udah belikan aku pensil?”
“Udah. Warnanya warna pink loh!”
“Kakak kenapa menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”
Aku cepat-cepat menghapus air mataku demikian juga pacarku.
“Aku mau nyanyi untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya menganggukan kepala lau mengalunlah sebuah lagu milik Baim dan Melly Goeslaw dari bibirnya.
Awan Awan Menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup
Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku
##################################################################################
TAMAT
*Terima kasih untuk semua sahabat yang membaca kisahnya dan yang telah share link kisahnya di twitter, FB dan via bb  :)
Semoga tulisan saya ini bermanfaat bagi banyak pembaca.

Keajaiban Nyanyian Kakak

 
         Seperti ibu pada umumnya, ketika Karin mengetahui bahwa dirinya mengandung, ia sebisa mungkin membantu putranya, Mikael, yang masih berumur 3 tahun, mempersiapkan diri untuk kehadiran seorang adik. Beberapa bulan kemudian, diketahui bahwa bayi dalam kandungan Karin berjenis kelamin perempuan. Setiap harinya, siang dan malam, Mikael bernyanyi untuk adiknya di dalam perut Karin.
Waktu melahirkan pun tiba. Namun, dalam proses melahirkan itu terjadi komplikasi, sehingga memakan waktu berjam-jam. Meski adik kecil Mikael dapat lahir dengan selamat, kondisinya sangat lemah. Ia harus masuk ke bagian ICU Neonatal.
          Keadaannya makin buruk. Dokter spesialis anak memberi tahu perkembangan kondisi bayi pada Karin dan suaminya, “Harapannya sangat kecil. Bersiaplah menghadapi yang terburuk.” Setelah mendengar berita itu, Karin dan suaminya menghubungi pemakaman setempat untuk memesan lahan makam.
Sementara itu, Mikael terus-terusan merengek ingin bernyanyi untuk adiknya; tapi anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke ruang ICU. Meski begitu, Karin mengambil keputusan bulat. Ia mengajak masuk Mikael meski perawat melarangnya. Kepala perawat lalu mengenali dia dan berteriak menegur, “Bawa keluar anak itu sekarang! Anak-anak tidak boleh masuk!”
Jiwa keibuan muncul dalam diri Karin. Perempuan yang biasanya lemah lembut itu memberikan tatapan tajam pada kepala perawat, bibirnya menunjukkan kebulatan tekadnya. “Dia tidak akan pergi sampai dia bernyanyi untuk adiknya!” Karin pun menggandeng Mikael mendekati sisi tempat tidur adiknya. Mikael menatap adiknya, yang terlihat menderita. Lalu, ia mulai bernyanyi:
Kau adalah mentariku, satu-satunya mentariku, kau membuatku bahagia ketika langit gelap….
Adik kecil itu memberikan reaksi. Denyut nadinya mulai menjadi tenang dan teratur.
        Mikael masih terus menyanyi. “Kau tak pernah tahu, adik, betapa aku mencintaimu. Tolong janganlah pergi….” Napas adik kecil yang putus-putus dan tak teratur menjadi teratur seperti dengkuran anak kucing.
Nyanyian Mikael terus berlanjut. “Semalam, adikku, waktu aku tidur, aku bermimpi kau ada dalam pelukanku….” Adik kecil Mikael terlihat tenang dan sepertinya kondisinya mulai pulih.
Mikael belum berhenti menyanyi. Air mata terlihat mulai mengalir di wajah kepala perawat itu. Sementara, wajah Karin tampak cerah. “Kau adalah mentariku, satu-satunya mentariku. Janganlah pergi dariku.”
Rencana pemakaman akhirnya dibatalkan. Keesokan harinya, adik kecil itu sudah boleh pulang!
Nyanyian Mikael lalu disebut “Keajaiban Nyanyian Kakak.” Para perawat di rumah sakit itu menyebutnya sebuah keajaiban. Karin menyebutnya sebuah keajaiban kasih karunia Tuhan!
                                                                                       ***
Jangan pernah menyerah dengan orang-orang yang kita kasihi. Cinta itu punya kekuatan yang luar biasa besar. Mungkin saat ini, kondisi salah satu anggota keluarga kita sedang tidak sehat atau tengah dirundung masalah. Tetaplah berusaha mendukung mereka (doa, dukungan moral/semangat, dll) semampu kita.

Thursday, May 3, 2012

Meski Tanpa Air Mata (Kisah Nyata)

Lesu aku karena mengeluh, setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku (Mazmur 6:7)

Yaah…. air mata identik dengan masalah, kesesakan dan kesedihan hati.
Kita sering mengasosiasikan orang yang sedang menangis sebagai orang yang sedang menderita, walaupun ada juga air mata bahagia…, karena saking terharunya atas suatu peristiwa yang membahagiakan hati. Tapi memang lebih banyak air mata keluar dikarenakan penderitaan.
Bani Korah menuliskan mazmur yang menunjukkan kesesakan hatinya,
Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku, “Di mana Allahmu?”
(Mazmur 42:4a)

sampai-sampai air mata terus mengalir tiada henti-hentinya…
Masyarakat sering menganggap orang yang mudah menangis adalah orang yang lemah hati, bahkan ada ajaran tak tertulis “Anak laki-laki sejak kecil harus diajarkan tidak boleh menunjukkan air matanya di depan orang lain”, karena terkesan lemah dan tidak jantan…
Sampai suatu hari untuk pertama kalinya…. yaaah untuk pertama kalinya saya menyadari, ‘betapa beruntungnya saya masih punya air mata’. Betapa beruntungnya teman-teman , karena teman-teman masih bisa menangis…..


Suatu kesaksian yang mengharu-biru dari Pdt Samuel Irwan.
Beliau pernah terkena penyakit kulit maha dahsyat yang sekarang meninggalkan jejak di matanya. Tidak bisa menangis lagi karena kelenjar air matanya sudah mampet akibat penyakit yang dialaminya.
Melihat penampilan beliau ketika berkotbah, sepintas tidak ada perbedaan dengan orang lain pada umumnya, kecuali mata yang kelihatan agak basah …
Menelusuri kesaksiaannya, jelas sekali panggilan beliau adalah sebagai hamba Tuhan.
Samuel Irwan, sejak umur 14 tahun sudah melayani Tuhan, dan setahun kemudian sudah menjadi pengkhotbah cilik. Setamat SMA, Samuel Irwan melanjutkan pendidikan di Sekolah Theologia STT Tawangmangu.
Di sekolah inilah Samuel Irwan mengalami pembentukan karakter lebih lagi, dan sebelum lulus Samuel Irwan bernazar, kelak akan melayani Tuhan sepenuh waktu, di manapun Tuhan akan mengutus dan menempatkannya.


TEMPAT MULAI MENJALANI NAZAR

Setelah lulus dari STT Tawangmangu, tahun 1993 Samuel Irwan menjalani masa praktek dan ditempatkan di Kecamatan Mangkupalas, Samarinda, Kalimantan Timur.
Di tempat inilah ia mulai menjalani kehidupan sebagai hamba Tuhan sepenuh waktu. Semua dijalani dengan sukacita dan penuh semangat walaupun harus meninggalkan kehidupan nyaman di Surabaya dan menjalani kehidupan yang berat di Kalimantan dengan persembahan kasih yang sangat kecil.
Hanya Rp 80.000 per bulan.
Tinggal di rumah yang sangat sederhana, banyak tikus berkeliaran, mengepel rumah, mencuci pakaian dan piring di parit, membersihkan gereja, melayani sebagai pengerja di gereja adalah kegiatan yang dijalaninya hari demi hari. Tidak terasa sudah dijalani selama 2 tahun.
“Bagaimana saya bisa berumah tangga dengan kehidupan ekonomi yang minim seperti ini?
Mana ada yang mau jadi istri saya?
Mana ada orang tua yang mau memberikan anak perempuannya kepada saya?
Bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya?”
Berbagai pertanyaan dan keluhan mulai menyesakkan hatinya di tengah-tengah kerinduan untuk mulai membina rumah tangga. Dan hatinya memang sudah mulai terpaut dengan seorang gadis cantik yang dikenalnya di pertandingan vocal group di sebuah gereja di Samarinda.
Samuel Irwan mulai memikirkan untuk tidak lagi menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu. Apalagi banyak testi anak-anak Tuhan yang sukses dalam pekerjaan tapi juga tetap setia melayani Tuhan, membuat ia memutuskan berhenti jadi fulltimer dan mulai melamar pekerjaan sekuler.
Ketika gembala sidang bertanya tentang nazarnya, Samuel Irwan berkata,“Saya meralat nazar saya.”
Airmata dan perkataan gembala sidang, “Gereja memang nggak bisa memberikan gaji besar, tapi Tuhan mampu pelihara hidupmu…..” tidak mampu menghentikan tekad Samuel Irwan untuk berhenti jadi full timer gereja.
Berbekal ijazah SMA, kemampuan komputer dan Inggris, tahun 1995, Samuel Irwan diterima bekerja di sebuah perusahaan kayu. Benar-benar mulai dari posisi bawah , hanya sebagai operator radio.
Karena keuletannya dalam bekerja dan kemampuannya di bidang komputer, hanya dalam waktu 5 bulan ia diangkat menjadi kepala produksi log di perusahaan kayu itu.
Berkat finansial mulai mengalir dengan deras sehingga bisa mengontrak rumah, membeli perabotan, sepeda motor membuatnya yakin berada di track yang benar.
Menikah dengan Erna S. Tjandra, di tahun 1996 dan dikaruniakan seorang putri setahun berikutnya membuat kebahagiannya semakin lengkap.
Kedudukan tinggi di perusahaan, punya istri, anak, rumah, kendaraan.
What else could make him happier?
Kalau dulu saat ingin bekerja di dunia sekuler, Samuel Irwan berkata kepada Tuhan, akan melayani Tuhan sambil bekerja, sekarang keinginan melayani sudah tidak prioritas lagi.
Peringatan dari hamba-hamba Tuhan yang mengingatkan akan nazarnya tidak diindahkan.
Sampai……
STEVENS-JOHNSON SYNDROM (SJS)
2 Januari 1998, Samuel Irwan merasakan keluhan masuk angin, demam, tenggorokan sakit dan mata merah. Sepertinya sakit biasa. Berobat ke dokter mata, dan diberikan paracetamol untuk menurunkan demam. Keesokan harinya, ternyata demam tidak kunjung turun juga, malah mulai timbul bintik-bintik merah pada lengannya. Telapak tangan dan kaki terasa sakit dan nyeri jika memegang atau menginjak suatu benda keras.
Berinisiatif sendiri untuk pergi ke dokter umum dan diresepkan obat pembunuh virus Zoter 400mg karena menurut diagnosa dokter ia terkena infeksi virus ditambah dengan obat penurun panas. Samuel tidak menceritakan kepada dokter umum itu bahwa ia juga diberi beberapa jenis obat oleh dokter mata. Selain itu ia juga membeli beberapa obat flu bebas dan jamu, apa saja yang menurut pengetahuannya bisa menyembuhkan gejala-gejala yang dialaminya.
Setibanya di rumah, Samuel Irwan meminum semua obat dari kedua dokter tersebut, ditambah obat bebas yang dibeli sendiri, semua dengan dosis yang tertulis, karena ingin cepat sembuh.
Akibatnya sungguh mengerikan karena mencampur sendiri beberapa jenis obat tersebut.
Bintik-bintik merah itu mulai melepuh dan gosong, dan mulai merambat sampai ke dada, tengkuk, leher, muka dan kondisi mata semakin memburuk, semakin merah. Kerongkongan, rongga mulut dan lidah juga melepuh.
Tidak cukup sampai di situ, kondisi ini semakin tambah parah karena di kulit seperti ada air dan nanah yang membusuk.
Dirujuk ke RS di Samarinda, 7 Januari 1998 Samuel Irwan menjalani rawat inap.
Salah seorang anggota tim dokter yang menangani, seorang dokter kulit mengatakan bahwa Samuel Irwan mengidap penyakit Stevens-Johnson Syndrome (SJS) stadium 3.
Kondisi tubuh Samuel Irwan saat itu seperti orang yang terkena luka bakar 80%. Semua bagian tubuh tidak ada yang terluput; melepuh, gosong, dan bernanah, dari kepala sampai ujung kaki, kecuali paha dan betis.
DI BATAS AKHIR KEKUATAN

Samuel Irwan mengingat masa itu, “Kalau sedang tidur dengan posisi miring, dan tidak hati-hati dan pelan-pelan menggerakkan wajah ke posisi lain, maka kulit muka akan tercuil dan lengket di seprei. Pediihhh sekali…..”
Demam juga tidak kunjung turun, sampai 42 derajat Celcius, sehingga kalau sedang menggigil ranjang bergoncang dengan kerasnya seperti sedang gempa bumi. Harus dimasukkan ke ruang isolasi, bukan karena SJS ini adalah penyakit menular, tetapi karena takut penyakit pasien lain menular kepada Samuel Irwan yang dapat memperburuk keadaannya.
Suatu hari mata yang selalu merah itu seperti kelilipan dan Samuel meminta suster untuk menyiram matanya dengan boorwater. Ketika bangun tidur, bukannya jadi baikan, ternyata malah kedua belah mata jadi putih semua, seperti ditutupi kertas HVS putih.
Samuel Irwan sangat marah kepada para dokter dan suster yang merawatnya.
Dan juga sangat marah kepada Tuhan, “Tuhaaaan….. saya butuh mata ini untuk bekerja…..”
Saat di batas akhir kekuatannya, saat mata tidak lagi bisa dipakai untuk melihat, Samuel Irwan minta pengampunan kepada Tuhan.

Dokter di Samarinda semuanya sudah angkat tangan dan merujuk Samuel Irwan ke rumah sakit di Surabaya. Malam sebelum keberangkatan ke Surabaya, Samuel Irwan menyadari panggilannya kembali.
Ia memanggil gembala sidangnya yang dulu, untuk berdoa minta ampun karena lari dari Tuhan.
Saat itu Samuel Irwan berjanji jika Tuhan masih beri kemurahan untuk hidup maka ia akan melayani Tuhan sepenuhnya kembali.
Dengan bantuan seorang gembala GBI di Samarinda, Samuel Irwan dibawa ke Surabaya.
Kondisi Samuel saat itu tidak bisa berjalan lagi karena kaki juga melepuh.
Saat akan naik tangga pesawat, karena tidak bisa berjalan, seorang portir yang tidak mengetahui penyakitnya, berusaha menolong dengan menggendong Samuel ke kabin pesawat. Gerakan tiba-tiba mengangkat Samuel yang sedang duduk di kursi roda, membuat kulitnya robek tertarik, dan Samuel menjerit keras sekali. Perjalanan yang sangat tidak mudah untuk sebuah harapan kesembuhan.
WALAUPUN TIADA DASAR UNTUK BERHARAP

Tim dokter yang menerima di Surabaya sangat kaget melihat kondisi tubuh Samuel Irwan. Mereka tidak menyangka kondisi Samuel sudah begitu parah sekali.
Sebelumnya mereka pernah menangani pasien yang mengidap sakit SJS ini dengan kondisi hanya sepertiga dari kondisi Samuel. Pasien ini akhirnya meninggal dunia, …. apalagi Samuel?
Saat baju dibuka untuk dirontgen, kulit punggung kembali robek.
Warna yang putih dipunggung adalah daging yang kelihatan akibat kulit tersobek, dan warna merah adalah darah yang keluar.
Detail hasil rontgen: lambung, pankreas, liver, bagian-bagian dalam tubuh, semuanya rusak. Sehingga diperkirakan Samuel hanya bisa bertahan 3 minggu.
Karena sudah menjalani penyakit SJS ini sejak 2 Januari 1998, maka diperkirakan Samuel Irwan hanya bisa bertahan sampai 23 Januari 1998. Sehingga diminta untuk segera menghadirkan istrinya ke Surabaya, membawa anak mereka yang baru berusia 2 bulan.
Seorang dokter kulit lulusan Jerman berkata, kalaupun Samuel bisa sembuh dari penyakit SJS ini, perlu 2 tahun untuk recovery kondisi kulitnya untuk kembali seperti semula.
Dokter mata, yang juga lulusan Jerman berkata, kalaupun sembuh, akan buta selamanya, tidak ada lagi harapan untuk mata Samuel.
Tiada dasar untuk berharap, namun Samuel Irwan tetap berharap kepada Tuhan seperti Abraham dalam kitab Roma,
Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.
Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,
dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
(Roma 4:18-21)
“A VIRTUOUS WOMAN’S PRICE IS FAR ABOVE RUBIES”
Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?
Ia lebih berharga dari pada permata.
(Amsal 31:10)

Ayat ini layak ditujukan kepada Erna Tjandra, istri dari Samuel Irwan, yang dengan tekun merawat suaminya. Tidak pernah sekalipun menunjukkan kejijikan kepada suami yang sudah sangat hancur tubuhnya. Dengan kondisi yang sudah sangat berbau busuk dan amis, tidak pernah sekalipun Erna masuk ke ruangan isolasi dengan memakai masker. Tidak pernah sekalipun.
Dengan setia ia merawat borok-borok di tubuh Samuel, menyikat gigi Samuel dengan jari-jarinya, membersihkan kotoran di ranjang, semua dilakukan tanpa mengeluh dan selalu tersenyum.
Semua dilakukan dengan kasih. She showed us an unconditional love.
Tidak terkira impartasi kekuatan yang diberikannya kepada sang suami yang sedang berjuang melawan maut. Erna berkali-kali menguatkan Samuel untuk tetap berharap kepada Tuhan.

PENDERITAAN TAK BERUJUNG ?

 
Rutinitas pengobatan Samuel setiap hari juga menjadi rutinitas penderitaannya.
Tubuh yang sudah melepuh, gosong, bernanah itu setiap hari harus diberi salep dan diperban.
Esok paginya perban itu harus diganti. Ketika perban dibuka maka kembali kulitnya sobek dan menempel di perban tsb. Sakit sekali, dan harus dijalani selama 1,5 jam dari pukul 9 pagi sampai 10.30 siang. Setiap hari selama 1,5 jam berteriak-teriak kesakitan. Demikian juga ketika seprei akan diganti. Kembali kulit akan tersobek dan lengket di sprei.
Dukungan dari istri dan pihak keluarga Samuel Irwan sangat besar sekali.
Tak henti-hentinya mereka berdoa puasa rantai memohon kemurahan Tuhan untuk menyembuhkan Samuel.
Tapi keadaan Samuel bukannya membaik, malah bertambah parah. Ke 20 kuku di jari-jarinya copot satu persatu, telapak tangan dan kaki menggelembung berisi air, telinga dan hidung melepuh mengeluarkan darah. Berat badan turun dari 68 kg menjadi 43 kg. Sistem reproduksi juga diserang sehingga diperkirakan kalaupun sembuh tidak bisa punya keturunan lagi.
Keadaan Samuel bukannya makin sembuh, malah semakin parah.

BERNAZAR LAGI

 
Samuel kembali berkata, “Tuhan ampuni saya, … kalau saya sembuh, saya akan kembali melayani Engkau sepenuh waktu. Saya akan tinggalkan pekerjaan saya, saya akan bayar nazar saya. Terimalah tubuhku yang sudah busuk ini. Ampuni saya Tuhan….”

Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur;
hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina,
ya Allah.
(Mazmur 51:19)

Kalimat di atas dengan tulus dan hancur hati diucapkan seseorang yang pernah berbuat kesalahan dan kemudian kembali kepada Tuhan. Dialah Daud. Sejarah mencatat Tuhan memulihkan Daud.
Bagaimana dengan Samuel Irwan?

GOD IS STILL DOING MIRACLE BUSINESS

Banyak orang yang undur imannya saat doa-doanya belum dijawab oleh Tuhan.Tidak percaya bahwa Tuhan sanggup menyembuhkan, Tuhan sanggup menjawab doa.
Tidak demikian dengan Samuel Irwan, beserta seluruh keluarganya. Juga orang-orang yang setia mendoakannya. Mereka begitu percaya kepada Tuhan dan belas kasihanNya,
Tanggal 23 Januari 1998, tanggal dimana Samuel diperkirakan akan meninggal dunia, justru menjadi titik balik dalam proses kesembuhannya.
Perawat yang seperti biasa tiap pagi merawat kulit Samuel, dikagetkan melihat kulit Samuel mulai mengering dan sembuh.
Kekagetan itu bertambah dengan pertanyaan Samuel, “Suster…., saya ini dirumah sakit Adi Husada Kapasari Surabaya ya ?” Dengan terheran-heran, suster balik bertanya, “Loh….kok bapak tau?”. Lalu Samuel menunjuk dengan jarinya sebuah tulisan berwarna merah yang tertera di sprei kasurnya sambil berkata, ”Ini ada tulisannya”. Suster gembira sekali sambil berlari keluar memanggil dokter mata.
Semua tim dokter yang menangai penyakit SJS ini heran sekali atas apa yang dialami Samuel.
Mata bisa sembuh tanpa operasi. Bagian dalam tubuh seperti ginjal, liver, lambung, dll semua sembuh dan normal kemnali. 2 hari kemudian Samuel sudah bisa berjalan kembali, dan proses recovery berjalan dengan cepat. Tidak perlu menunggu sampai 2 tahun untuk kulit Samuel menjadi normal kembali, dan … sembuh tanpa operasi plastik (!!!)
Penyakit SJS terparah yang pernah ditangani di RS tsb, sembuh total
(bahkan kini Samuel Irwan sudah dikaruniai lagi anak perempuan ke 2, tanggal 31 Mei 1999, hanya setahun sesudah mengalami kesembuhan).
 
Tuhan Yesus memang luar biasa. DAHSYAT !!!

MENETESKAN ‘TEAR DROPS’. EVERY 15 MINUTES !

 
Kulit Samuel Irwan menjadi normal kembali. Tidak ada bercak atau tanda sedikitpun yang menyiratkan bahwa ia pernah disiksa oleh penyakit kulit ganas tsb. Kecuali matanya.
Kalaupun dipaksakan untuk mengeluarkan air mata, maka otot kelopak mata atas dan bawah seperti diperas dan terasa sakit sekali. Sehingga mau tidak mau, Samuel harus menggunakan tetes air mata buatan.
Saat berkotbah tiap 15 menit sekali Samuel Irwan meneteskan air mata buatan agar matanya tidak kering dan lengket, tapi semua itu tidak menyurutkan semangatnya melayani Tuhan.
Obat tetes mata yang digunakan saat ini adalah buatan USA “Refresh Liquidgel” berharga $24 per botol, dan habis digunakan dalam 3 hari saja. Belum lagi karena obat ini harus dipesan dari Singapore, maka total biaya untuk pengganti air mata yang harus disediakan perbulan adalah sebesar
Rp 3.000.000,-.

BETAPA MAHALNYA TETESAN AIR MATA !!!

 
Tidak sedikit uang yang sudah dihabiskan untuk pengobatan mata dan pengadaan air mata buatan.
Selama 12 tahun tidak punya air mata (tahun 1998-2010), biaya yang dihabiskan sudah sekitar 1,6 Milyar.

Hanya untuk air mata !!!
Itu sebabnya di awal tulisan ini saya berkata, berbahagialah kalau masih bisa menangis.
Pertama, tingkatan stress bisa diturunkan saat menangis, sehingga kita tidak menjadi depresi. Kedua, tidak perlu bayar M-M an untuk air mata.
Jarak pandang yang hanya sekitar 1 meter, membuat Samuel Irwan harus membawa keker (binocular) saat berada di bandara supaya tidak salah memilih gate dan dan membaca no pesawat.
Ada kesaksian yang luar biasa saat Samuel Irwan sedang berada di Changi, Singapura, sedang transit menunggu pesawat ke Jepang dan Amerika.
Seorang polisi India menegur dengan keras mengira Samuel sedang memakai kamera. Dengan tegas ia menegur, “No camera in this airport, sir!”.
Samuel menjelaskan bahwa itu binocular untuk menolong membaca karena matanya tidak bisa membaca jarak jauh.
Singkat cerita, Samuel berusaha meyakinkan polisi India tsb dan memperlihatkan bagaimana Tuhan Yesus menyembuhkannya dari penyakit SJS, sambil menunjukkan foto-foto diri saat menderita SJS yang ada dimobile phone nya. Samuel berkata, “Tuhan menyuruh saya ke Jepang dan Amerika untuk memberitakan kebaikanNya. Apakah Bapak bisa menolong saya menunjukkan meja yang harus saya datangi untuk check-in?”
Apa yang terjadi? Polisi itu menangis.
Ia berkata, “Sebelum saya menolong Anda, Anda harus tolong saya.”
Ternyata sehari sebelumnya polisi ini bertengkar hebat dengan istrinya dan istrinya minta cerai. Anak mereka juga jadi anak berandalan, tidak bisa dikendalikan. Sebuah rumah tangga yang sangat berantakan.
Ia berkata bahwa banyak orang yang menceritakan Yesus sanggup mendamaikan keluarganya, tapi ia pikir semua itu omong kosong.
Dan sambil menyentuh tangan Samuel Irwan, polisi itu berkata, “Ini kulit baru, sungguh ini bukti nyata.” Saat itu juga ia minta dibimbing untuk terima Tuhan Yesus.
Sesudahnya, saat mengantar Samuel Irwan boarding ia berkata, “I never feel peace like this, … thank you.”

Di kursi pesawat, Samuel Irwan merenung…., “Tuhan….kalau memang mata ini bisa membuat orang yang suka mengeluh menjadi bisa bersyukur, bisa membuat orang berdosa diselamatkan…., mata saya tidak disembuhkan tidak apa-apa Tuhan…, karena saya bersyukur mata ini bisa memuliakan Tuhan….”

MENCERITAKAN KEBAIKAN TUHAN

 
Melalui semua yang dialaminya, Pdt Samuel Irwan sudah pergi ke berbagai tempat di Indonesia, bahkan melayani sampai ke bangsa-bangsa untuk menceritakan kebaikan Tuhan.
Keterbatasan fisik tidak mampu mengurangi semangatnya yang rindu melayani Tuhan dan memberitakan kepada uamatNya bahwa Tuhan itu baik dan kuasaNya maha dahsyat.


Banyak orang yang dijamah Tuhan dan disembuhkan, bukan hanya orang yang sakit secara fisik, tetapi juga orang yang sehat tapi sudah jauh dari Tuhan. Merasakan kembali kasih Tuhan dan mengambil keputusan untuk kembali kepada Tuhan.

“DALAM KELEMAHANKU, KEKUATANNYA DINYATAKAN”

Pernah suatu ketika obat tetes mata sudah habis, sementara pesanan dari Singapura terlambat datang. Ketika botol itu kosong, terjadi mujizat. Setiap kali diteteskan ke mata, obat tsb masih menetes, walaupun kalau botolnya digoncang tidak ada bunyi apa-apa karena memang sudah kosong.
Botol kosong itu terus meneteskan air mata buatan setiap kali digunakan, sampai pesanan obat baru dari Singapura datang. Ketika kembali diteteskan, botol kosong tsb tidak mengalirkan apa-apa lagi, karena penggantinya sudah datang.

 


Jarak pandang yang hanya 1 meter tidak memupuskan semangat Samuel Irwan untuk belajar lagi dan menyelesaikan pendidikan S1 Theologia di STT Duta Panisal Jember. Walaupun saat kuliah harus membawa alat bantu seperti binocular dan kaca pembesar agar bisa membaca lebih jelas.
Kegigihannya dan semangat pantang menyerah juga dibuktikan dengan melanjutkan sampai study Magister dibidang Biblical Strata 2, dan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Masih belum cukup, seakan berpacu dengan waktu, Samuel Irwan meneruskan study penggembalaan dan penginjilan di Haggai Institute Hawaii USA.
Semua dilakukan dalam segala kelemahan yang dimilikinya. Tapi kekuatan Tuhan yang menopangnya, membuat Samuel Irwan mampu melalui semuanya dengan baik.
GOD IS GOOD. ALL THE TIME.
Berbeda-beda interpretasi orang yang mendengarkan kesaksian bapak Pdt Samuel Irwan Santoso,S.Th,MA, yang sejak tahun 2006 hingga sekarang menggembalakan jemaat di GBI Bontang, Kalimantan Timur.
 
Tapi yang tertanam di hati saya, adalah :

TUHAN ITU BAIK
 
Bahkan ketika beliau diijinkan mengidap penyakit SJS, di mata saya itu bukanlah penghukuman karena suatu kesalahan. Tapi cara Tuhan untuk membawa beliau kembali kepada panggilanNya.
Karena besar kemuliaanNya yang akan Dia tunjukkan kepada kita semua melalui pelayanan beliau.

TUHAN ITU BAIK
 
Tuhan tidak pernah meninggalkan beliau, bahkan saat berjalan dalam lembah bayang-bayang maut.
Terbukti dari biaya pesawat dan pengobatan ke Surabaya, (saat itu harga-harga obat melambung tinggi karena krisis moneter), semuanya ditanggung seorang pengusaha di Samarinda, yang bukanlah orang percaya, tapi digerakkan hatinya oleh Tuhan untuk memikul beban itu.
Juga biaya air mata buatan yang tidak sedikit selama 12 tahun ini, (Milyar….bo’) yang tidak mungkin sanggup dibeli oleh beliau, semua disediakan Tuhan melalui orang yang berbeda-beda yang digerakkan hatinya oleh Tuhan.
 
TUHAN ITU BAIK
 
Kalau teman-teman dan saya diijinkan untuk mendengar atau membaca kesaksian ini, pasti karena Tuhan ingin kita lebih bersyukur lagi menjalani hari-hari yang tidak semakin baik ini.
Kalau sedang menangis di hari-hari ini, bersyukurlah, karena semua air mata kita itu gratis dari Tuhan. Bayangkan kalau kita harus bayar Rp 3 juta per bulan hanya untuk air mata?
Dan sekalipun saat ini kita sedang menangis, Tuhan ingin kita semua tahu, bahwa Ia tidak pernah meninggalkan perbuatan tanganNya.
Melewati lembah bayang-bayang maut sekalipun, kita tidak takut bahaya, karena Tuhan menyertai kita

Pelukan Tulus Daniel

“Dalam kesenangan, mudah sekali melupakan Tuhan. Dalam kesusahan, susah sekali melupakanNya.” (Dewa Klasik Alexander)


“Yang penting bukan seberapa lama kita hidup tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama selama kita hidup”
“Terkadang masalah kita terlihat seperti raksasa dan kita harus mengangkat kepala kita untuk melihat raksasa tersebut. Namun, perlu diingat Tuhan melihat masalah tersebut dengan menundukan kepalaNya karena masalah kita terlalu kecil buat Dia.”
“Kita putus!” Masih terngiang ditelingaku kalimat yang diucapkan Agnes dua jam yang lalu.
Aku hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang tajam menusuk ke dalam hatiku.
“Kamu ngga kayak cowok teman-teman aku yang lain. Kalau mau dibandingin kayak langit dan bumi deh. Semuanya pada cerita tentang kehebatan dan kelebihan pacar mereka sedangkan aku? Aku ngga tau harus ngomong apa!”
Aku memilih diam dan mendengarkan alasannya memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan dua tahun.  Tepatnya hari ini kami dua tahun jadian.
“Masa hari gini dia ngga punya Blackberry?! Yang ada hanya Hp butut nan tua. Yang bisa untuk sms dan telpon doang. Sedangkan pacar teman-teman aku, jangankan BB, iphone pun punya. Trus kamu ngga pernah jemput aku. Jangankan pake mobil. Sepeda aja ngga punya, apa lagi motor! Ke mana-mana naik angkot. Duh, padahal Jakarta kan panas dan berdebu di mana-mana. Coba lihat tuh, cowoknya si Ririn. Mau naik mobil apa aja bisa. Tinggal pilih yang ada di garasi rumahnya. Sopir ngga cuma satu tapi lebih. Ke mana aja pasti dianterin. Sementara, kamu?! Jauh banget……”
Aku mencoba menahan rasa sakit tersebut.
“Kamu tidak pernah ajak aku makan di kafe atau restoran yang berkelas gitu. Yang ada minum es teh dan makan bubur di pinggir jalan. Kan kalo teman-teman aku liat bisa gengsi aku. Gengsi segengsi gengsinya. Gokil, malu-maluin banget sebanget bangetnya!”
Hatiku hanya berbisik, “Jadi selama ini kamu malu kalau aku ajak kamu makan di pinggir jalan?”
“Kamu ngga pernah ngasih aku kado atau sesuatu yang “mahal” gitu. Coba, si Keisha yang baru jadian satu bulan ama si Tio, pake liontin emas putih. Sedangkan aku? Mimpi kali yeeee….”
Akhirnya bibirku pun mengeluarkan kalimat tersebut. “Maaf, kalau selama kita jadian aku tidak bisa seperti  pacar teman-teman kamu. Terima kasih kalau kamu pernah hadir dalam hidupku. Seharusnya dari awal kamu tau kalau aku hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa.”
Detik berikutnya aku hanya melihat punggung Agnes yang meninggalkanku. Meninggalkan sebuah luka dihatiku.
*****
“Ko Tara!” teriak Daniel menyambut kedatanganku. Sebuah pelukan hangat membalut tubuhku. Sambutan Daniel menjadi obat sakit di hatiku.
Aku membalas pelukannya. Detik berikutnya air mataku jatuh tak tertahan. Aku tidak pernah menyesal terlahir dikeluarga yang miskin. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan ketika aku harus kehilangan kedua orang tuaku lima tahun yang lalu. Waktu mereka pergi untuk selama-lamanya, Daniel baru berusia dua tahun. Beruntung waktu itu aku baru saja menyelesaikan bangku SMA.
Aku  harus membesarkan Daniel sendiri dengan hasil uang yang aku dapat dari menjadi seorang fotografer dan usaha Wedding Organizer yang aku rintis.
“Kamu sudah makan?” tanyaku sambil menatap wajah Daniel.
“Aku nunggu koko! Aku mau makan dengan koko!”
Aku memperhatikan wajah Daniel! Pucat! Sementara ada tanda bercak darah pada kulitnya yang putih.
“Kamu ngga kenapa-napakan, Dan?” Tanyaku penuh dengan kekuatiran.
“Koko, Daniel sehat-sehat saja! Cuma tadi sempat mimisan!”
Aku terkejut mendengar jawaban Daniel.
“Selesai makan nanti kita ke dokter ya?”
“Daniel, takut di suntik!”
“Kamu ngga usah takut! Kan ada koko! Disuntik cuma kayak digigit semut merah.”
“Ya, udah! Tapi aku ditemanin sama koko ya?”
Aku menggangukkan kepalaku tanda setuju.
*****
Daniel dirujuk ke Bagian Anak di salah satu Rumah Sakit di Jakarta . Di rumah sakit itu, sumsum tulang belakangnya diambil. Ternyata trombositnya rendah, sedangkan sel darah putih berlebihan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, ia positif terjangkit leukemia dan harus menjalani pengobatan selama dua tahun.
Pada tiga bulan pertama, Daniel dikemoterapi dan diberi obat antikanker (stitostika). Setiap kali mendapat pengobatan, ia muntah, nyeri pada sendi, dan rambut rontok. Sel kanker pun menjalar hingga ke bagian otak. Harapan untuk sembuh kian tipis.
“Koko! Daniel sayang koko!” ucap Daniel ketika memelukku diatas ranjangnya.
“Koko juga sayang Daniel! Tuhan pasti sembuhkan kamu!” aku mencoba menghiburnya. Setiap hari aku meyakinkannya, kalau dia pasti sembuh.
“Besok, Daniel sudah bisa pulang!”
Mungkin itu berita gembira bagi Daniel. Tapi bagiku, tidak! Uang tabunganku sudah habis untuk membiayai pengobatan Daniel. Dua hari yang lalu aku terpaksa menjual kameraku untuk menutupi biaya yang belum aku lunasi. Daniel tidak akan mendapatkan terapi lagi.
“Daniel, malu!”
“Malu kenapa sayang?”
“Kepala Daniel botak!”
“Tapi koko ngga pernah malu punya adik yang kepalanya botak!”
“Koko, minggu depan Daniel ulang tahun yang ke delapan loh!”
Aku menatap Daniel. “Koko ingat kok! Daniel mau kado apa?”
Daniel berpikir sejenak.
“Daniel cuma mau sembuh. Daniel ngga mau kado apa-apa.”
“Serius? Daniel suka SpongeBobkan?”
“Suka banget!”
“Mau ngga kalo koko kasih boneka SpongeBob?”
“Mau!” sahut Daniel dengan semangat!
*****
Aku berdiri terpaku mendengar suara merdu Daniel. Hari ini aku membawa Daniel ke Gereja. Aku tidak menyangka kalau dia akan maju ke altar dengan kursi rodanya dan menyanyikan sebuah pujian.
Tak Terbatas Kuasa-Mu Tuhan
Semua Dapat Kau Lakukan
Apa Yang Kelihatan Mustahil Bagiku
Itu Sangat Mungkin Bagi-Mu
Reff :
Di Saat Ku Tak Berdaya
Kuasa-Mu Yang Sempurna
Ketika Ku Percaya
Mujizat Itu Nyata
Bukan Kar’na Kekuatan
Namun Roh-Mu Ya Tuhan
Ketika Ku Berdoa
Mujizat Itu Nyata
Bridge :
Mujizat Itu Dekat Di Mulutku
Dan Ku Hidup Oleh Percaya
Aku melihat beberapa jemaat meneteskan air mata.
“Kalau Daniel masih bisa hidup hari ini itu karena mujizat dari Tuhan Yesus. Terima kasih untuk Koko Dewantara yang selama ini membesarkan Daniel sendiri. Daniel janji, Daniel ngga akan nakal! Daniel Sayang koko!” tutur Daniel setelah mengakhiri pujiannya.
                         ######################################################
“Koko, kenapa nangis?” tanya Daniel dengan lemah.
Hari ini keadaan Daniel kritis. Terpaksa aku membawanya ke rumah sakit.
Aku menghapus air mataku.
“Tuhan sembuhkan atau tidak, bagi Daniel Tuhan tetap baik!”
Aku menggangukan kepalaku tanda setuju dengan ucapannya.
“Koko…. Terima kasih buat boneka SpongeBobnya ya!”
“Sama-sama sayang.”
Daniel mengambil sesuatu dibalik bantalnya.  Lalu dia melihatnya dengan lemah.
Foto kedua orang tuaku bersama aku dan Daniel yang masih bayi.
“Koko, maafin Daniel ya kalo selama ini Daniel nakal dan repotin koko. Nanti kalo Daniel ke Surga, Daniel akan cari mama dan papa. Koko ngga usah kuatir lagi.”
Aku memeluk Daniel. Ya Tuhan! Aku belum siap kehilangan Daniel!
Dengan pelan Daniel mengucapkan sebait doa sambil memeluk boneka SpongeBobnya.
Tuhan….
Aku lapar! Sangat Lapar!
Tapi aku tidak ingin meminta makanan.
Aku hanya minta berkati mereka yang kelaparan sepertiku.
Tuhan…
Aku sakit! Sangat sakit!
Tapi aku tidak meminta kesembuhan.
Aku hanya minta sembuhkan mereka yang sakit sepertiku.
Tuhan…
Aku sebatang kara!
Tapi aku tidak meminta boneka.
Aku hanya minta hiburkan mereka yang kesepian.
Tuhan…
Bajuku penuh tambalan.
Tapi aku tidak meminta baju baru.
Aku hanya minta berkati mereka yang berkekurangan.
Tuhan…
Aku tidak ingin mujizat-Mu.
Meski aku tahu, Engkau sanggup melakukan-Nya.
Aku hanya minta, tunjukkan mujizatmu kepada mereka yang tidak mempercayai-Mu.
Tuhan…
Kalau nanti aku meninggal.
Aku tidak ingin ada yang menangis.
Tapi aku ingin mereka tersenyum. Tersenyum karena aku bertahan hingga akhirnya.
Tuhan…
Malam ini aku tidak meminta apa-apa untuk diriku.
Jadilah kehendakmu di bumi seperti di Surga.
Karena aku tahu, bersama-Mu semuanya akan Engkau berikan.
AMIN
Detik berikutnya Daniel menatapku dengan lembut dan lemah. Perlahan-lahan matanya tertutup rapat. Air mataku jatuh berderai tak tertahan

Surprice Kecil Untuk Samuel

“Mengasihi artinya berbagi kebahagiaan dan berkorban demi kebahagiaan orang yang kita kasihi” (DKA)

“Aku menemukan sisi lain dari keindahan dunia ini saat mengenalmu dan ketika aku kehilangan dirimu, engkau menjadi inspirasi bagiku.” (DKA)


Aku meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika aku masih menikmatinya ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang menusuk ke dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku meletakkan gelas yang hanya menyisakan es batu yang masih membeku.
“Bu, anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku penasaran kepada pemilik warung sambil memandang anak laki-laki tersebut.
“Ow… Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan kenapa, bu?”
“Sudah seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas melahirkan dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur di mana saja karena di usir dari kontrakan.”
“Begitu ya, bu!”
Selesai membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak laki-laki yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah sudah berapa lama dia tidak mengganti pakaiannya.
Semakin aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak terurus. Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.
“Nama kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.
“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.
“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya. Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara, panggil saja kak Tara!”
Dia mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.
“Yuk, kita makan.”
“Di mana kak?”
“Tuh ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali anak ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya segala.
“Terima kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,” balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.
*****
Aku manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan lilin kecil. Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan. Tanpa listrik dan tanpa kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC umum. Itu pun harus bayar. Suara kereta api yang lewat persis di depan kosku sudah menjadi musik tersendiri bagiku. Kata orang ada harga, ada mutu. Seperti itulah gambaran kos di pinggiran rel kereta api.
“Dulu aku punya koko.”
“Trus koko kamu di mana sekarang?”
Hening. Sunyi. Bisu.
“Koko… Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali kesunyian mencekam.
“Ngga apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah kalau begitu.”
Aku tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.
*****
“Koko pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke tempatku bekerja. “Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”
“Kenapa ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya. Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu lapar?”
“Lapar setengah mati.”
“Tapi uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel hanya menatapku.
“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya ko.”
Aku berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali, mata Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
“Untuk kamu saja ya!”
“Ngga mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan berat hati aku memakannya juga.
Setelah itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko, lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajinya sih cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik hati mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan online. Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.
“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.
Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.
*****
“Kamu sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin ko!”
Aku tersenyum meski hatiku perih.
“Yah iyalah masa manis.”
*****
“Badanmu panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit ya?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhnya.
“Kita ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau berobat harus pinjam sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh kerja keras lagi buat bayar hutang.
Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.
Aku menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara kami.
Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
“Woi, mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main masuk!”
“Adik saya sakit, pak?”
Satpam tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.
“Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini!”
Ya Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku tidak diterima?
Ketika satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan untuk Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki. Sandal nyang kupakai tadi putus. Mungkin sudah waktunya untuk diganti.
Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga tulang sum-sumku.
*****
Empat hari kemudian.
“Hemofilia?” tanyaku kaget.
“Penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromosn X,” ucap dokter muda yang cantik perawakannya memberiku penjelasan.
Aku menggagumi kecantikannya.
“Tapi selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti pendarahan yang terus menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang mengakibatkan kebiru-biruan. Kalau boleh tahu, Samuel mengidap hemofilia A atau Hemofilia B, dok?”
“Begitu ya? Hemofilia B.”
Aku terdiam.
“Tidak hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap HIV? Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah menjalani transfusi darah dan ternyata Human Immunodeficiency Virus lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.
Kini aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga. Entahlah.
Aku menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang terpasang ditubuhnya. Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang keluar dari mulutnya.
Masih jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.
“Samuel pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau kado apa?”
“Cuma pengen boneka Tazmania.”
“Nanti koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa harri ini belum ada tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi jangan lupa berdoa ya.”
“So, pasti!”
Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
“Amin!” teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.
“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit berikutnya.
Dia mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.” timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K dibelakangnya.
“Nama blognya apa ko?”
Motivatorsuper dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati kamarsolusi dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko, aku mau pulang saja!”
“Kenapa sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam. Sesak.
“Kamu jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan gajiku di potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.
Sebatang kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada keluarga. Ah, betapa indahnya kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta. Uang ngga jatuh dari pohon kayak daun kering. Siapa yang mau memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan apa-apa yang bisa disita kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan pinjaman ke keluarga sendiri saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang harus di ekspos. Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko…. Maafkan aku.”
“Kenapa harus minta maaf?”
“Aku sudah merepotkan koko.”
Aku menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah senang bisa berkorban buat kamu.”
******
Segala macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel. Sudah dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.
“Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil meneteskan air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.
******
Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa sayang?”
“Besok aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga apa-apa.”
“Kamu suka ngga bonekanya?”
“Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko, aku mau… kasih koko… kado.”
Aku tercengang!
“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku yakin saat Kau berfirman
Ku menang saat Kau bertindak
Hidupku hanya ditentukan oleh perkataanMu
Ku aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Bagi Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya mujizat itu ada.
“Selamat natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya, sayang!”
“Koko bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”
Tanpa berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.

Silent night, holy night
All is calm and all is bright
Round yon virgin mother and child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace
Silent night, holy night
Shepherds quake at the sight
Glories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing halleluia
Christ the savior is born
Christ our savior is born
Silent night, holy night
Son of God
Love’s pure light
Radiant beams from thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus Lord at thy birth
Jesus Lord at thy birth
Halleluia!
Halleluia!
Halleluia!
Christ the savior is born
Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.
Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
*****
TAMAT
( NANTIKAN NOVELnya yang akan segera diterbitkan. AMIN)
Kisah ini saya dedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS), percayalah kalian adalah makluk tuhan yang paling bahagia dan berharga di mata Tuhan dengan keadaan apa pun.
“Jauhi virusnya bukan orangnya.”
*Terima kasih untuk semua sahabat yang membaca kisahnya dan yang telah share link kisahnya di twitter, FB dan via bb
Semoga tulisan saya ini bermanfaat bagi banyak pembaca.