“Dalam kesenangan, mudah sekali melupakan Tuhan. Dalam kesusahan, susah sekali melupakanNya.” (Dewa Klasik Alexander)
“Yang penting bukan seberapa lama kita
hidup tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama
selama kita hidup”
“Terkadang masalah kita terlihat seperti
raksasa dan kita harus mengangkat kepala kita untuk melihat raksasa
tersebut. Namun, perlu diingat Tuhan melihat masalah tersebut dengan
menundukan kepalaNya karena masalah kita terlalu kecil buat Dia.”
“Kita putus!” Masih terngiang ditelingaku kalimat yang diucapkan Agnes dua jam yang lalu.
Aku hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang tajam menusuk ke dalam hatiku.
“Kamu ngga kayak cowok teman-teman aku
yang lain. Kalau mau dibandingin kayak langit dan bumi deh. Semuanya
pada cerita tentang kehebatan dan kelebihan pacar mereka sedangkan aku?
Aku ngga tau harus ngomong apa!”
Aku memilih diam dan mendengarkan
alasannya memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan dua tahun.
Tepatnya hari ini kami dua tahun jadian.
“Masa hari gini dia ngga punya
Blackberry?! Yang ada hanya Hp butut nan tua. Yang bisa untuk sms dan
telpon doang. Sedangkan pacar teman-teman aku, jangankan BB, iphone pun
punya. Trus kamu ngga pernah jemput aku. Jangankan pake mobil. Sepeda
aja ngga punya, apa lagi motor! Ke mana-mana naik angkot. Duh, padahal
Jakarta kan panas dan berdebu di mana-mana. Coba lihat tuh, cowoknya si
Ririn. Mau naik mobil apa aja bisa. Tinggal pilih yang ada di garasi
rumahnya. Sopir ngga cuma satu tapi lebih. Ke mana aja pasti dianterin.
Sementara, kamu?! Jauh banget……”
Aku mencoba menahan rasa sakit tersebut.
“Kamu tidak pernah ajak aku makan di
kafe atau restoran yang berkelas gitu. Yang ada minum es teh dan makan
bubur di pinggir jalan. Kan kalo teman-teman aku liat bisa gengsi aku.
Gengsi segengsi gengsinya. Gokil, malu-maluin banget sebanget
bangetnya!”
Hatiku hanya berbisik, “Jadi selama ini kamu malu kalau aku ajak kamu makan di pinggir jalan?”
“Kamu ngga pernah ngasih aku kado atau
sesuatu yang “mahal” gitu. Coba, si Keisha yang baru jadian satu bulan
ama si Tio, pake liontin emas putih. Sedangkan aku? Mimpi kali yeeee….”
Akhirnya bibirku pun mengeluarkan
kalimat tersebut. “Maaf, kalau selama kita jadian aku tidak bisa seperti
pacar teman-teman kamu. Terima kasih kalau kamu pernah hadir dalam
hidupku. Seharusnya dari awal kamu tau kalau aku hanya anak yatim piatu
yang tidak memiliki apa-apa.”
Detik berikutnya aku hanya melihat punggung Agnes yang meninggalkanku. Meninggalkan sebuah luka dihatiku.
*****
“Ko Tara!” teriak Daniel menyambut
kedatanganku. Sebuah pelukan hangat membalut tubuhku. Sambutan Daniel
menjadi obat sakit di hatiku.
Aku membalas pelukannya. Detik
berikutnya air mataku jatuh tak tertahan. Aku tidak pernah menyesal
terlahir dikeluarga yang miskin. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan
ketika aku harus kehilangan kedua orang tuaku lima tahun yang lalu.
Waktu mereka pergi untuk selama-lamanya, Daniel baru berusia dua tahun.
Beruntung waktu itu aku baru saja menyelesaikan bangku SMA.
Aku harus membesarkan Daniel sendiri
dengan hasil uang yang aku dapat dari menjadi seorang fotografer dan
usaha Wedding Organizer yang aku rintis.
“Kamu sudah makan?” tanyaku sambil menatap wajah Daniel.
“Aku nunggu koko! Aku mau makan dengan koko!”
Aku memperhatikan wajah Daniel! Pucat! Sementara ada tanda bercak darah pada kulitnya yang putih.
“Kamu ngga kenapa-napakan, Dan?” Tanyaku penuh dengan kekuatiran.
“Koko, Daniel sehat-sehat saja! Cuma tadi sempat mimisan!”
Aku terkejut mendengar jawaban Daniel.
“Selesai makan nanti kita ke dokter ya?”
“Daniel, takut di suntik!”
“Kamu ngga usah takut! Kan ada koko! Disuntik cuma kayak digigit semut merah.”
“Ya, udah! Tapi aku ditemanin sama koko ya?”
Aku menggangukkan kepalaku tanda setuju.
*****
Daniel dirujuk ke Bagian Anak di salah
satu Rumah Sakit di Jakarta . Di rumah sakit itu, sumsum tulang
belakangnya diambil. Ternyata trombositnya rendah, sedangkan sel darah
putih berlebihan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, ia positif
terjangkit leukemia dan harus menjalani pengobatan selama dua tahun.
Pada tiga bulan pertama, Daniel
dikemoterapi dan diberi obat antikanker (stitostika). Setiap kali
mendapat pengobatan, ia muntah, nyeri pada sendi, dan rambut rontok. Sel
kanker pun menjalar hingga ke bagian otak. Harapan untuk sembuh kian
tipis.
“Koko! Daniel sayang koko!” ucap Daniel ketika memelukku diatas ranjangnya.
“Koko juga sayang Daniel! Tuhan pasti
sembuhkan kamu!” aku mencoba menghiburnya. Setiap hari aku
meyakinkannya, kalau dia pasti sembuh.
“Besok, Daniel sudah bisa pulang!”
Mungkin itu berita gembira bagi Daniel.
Tapi bagiku, tidak! Uang tabunganku sudah habis untuk membiayai
pengobatan Daniel. Dua hari yang lalu aku terpaksa menjual kameraku
untuk menutupi biaya yang belum aku lunasi. Daniel tidak akan
mendapatkan terapi lagi.
“Daniel, malu!”
“Malu kenapa sayang?”
“Kepala Daniel botak!”
“Tapi koko ngga pernah malu punya adik yang kepalanya botak!”
“Koko, minggu depan Daniel ulang tahun yang ke delapan loh!”
Aku menatap Daniel. “Koko ingat kok! Daniel mau kado apa?”
Daniel berpikir sejenak.
“Daniel cuma mau sembuh. Daniel ngga mau kado apa-apa.”
“Serius? Daniel suka SpongeBobkan?”
“Suka banget!”
“Mau ngga kalo koko kasih boneka SpongeBob?”
“Mau!” sahut Daniel dengan semangat!
*****
Aku berdiri terpaku mendengar suara
merdu Daniel. Hari ini aku membawa Daniel ke Gereja. Aku tidak menyangka
kalau dia akan maju ke altar dengan kursi rodanya dan menyanyikan
sebuah pujian.
Tak Terbatas Kuasa-Mu Tuhan
Semua Dapat Kau Lakukan
Apa Yang Kelihatan Mustahil Bagiku
Itu Sangat Mungkin Bagi-Mu
Reff :
Di Saat Ku Tak Berdaya
Kuasa-Mu Yang Sempurna
Ketika Ku Percaya
Mujizat Itu Nyata
Bukan Kar’na Kekuatan
Namun Roh-Mu Ya Tuhan
Ketika Ku Berdoa
Mujizat Itu Nyata
Bridge :
Mujizat Itu Dekat Di Mulutku
Dan Ku Hidup Oleh Percaya
Aku melihat beberapa jemaat meneteskan air mata.
“Kalau Daniel masih bisa hidup hari ini
itu karena mujizat dari Tuhan Yesus. Terima kasih untuk Koko Dewantara
yang selama ini membesarkan Daniel sendiri. Daniel janji, Daniel ngga
akan nakal! Daniel Sayang koko!” tutur Daniel setelah mengakhiri
pujiannya.
######################################################
“Koko, kenapa nangis?” tanya Daniel dengan lemah.
Hari ini keadaan Daniel kritis. Terpaksa aku membawanya ke rumah sakit.
Aku menghapus air mataku.
“Tuhan sembuhkan atau tidak, bagi Daniel Tuhan tetap baik!”
Aku menggangukan kepalaku tanda setuju dengan ucapannya.
“Koko…. Terima kasih buat boneka SpongeBobnya ya!”
“Sama-sama sayang.”
Daniel mengambil sesuatu dibalik bantalnya. Lalu dia melihatnya dengan lemah.
Foto kedua orang tuaku bersama aku dan Daniel yang masih bayi.
“Koko, maafin Daniel ya kalo selama ini
Daniel nakal dan repotin koko. Nanti kalo Daniel ke Surga, Daniel akan
cari mama dan papa. Koko ngga usah kuatir lagi.”
Aku memeluk Daniel. Ya Tuhan! Aku belum siap kehilangan Daniel!
Dengan pelan Daniel mengucapkan sebait doa sambil memeluk boneka SpongeBobnya.
Tuhan….
Aku lapar! Sangat Lapar!
Tapi aku tidak ingin meminta makanan.
Aku hanya minta berkati mereka yang kelaparan sepertiku.
Tuhan…
Aku sakit! Sangat sakit!
Tapi aku tidak meminta kesembuhan.
Aku hanya minta sembuhkan mereka yang sakit sepertiku.
Tuhan…
Aku sebatang kara!
Tapi aku tidak meminta boneka.
Aku hanya minta hiburkan mereka yang kesepian.
Tuhan…
Bajuku penuh tambalan.
Tapi aku tidak meminta baju baru.
Aku hanya minta berkati mereka yang berkekurangan.
Tuhan…
Aku tidak ingin mujizat-Mu.
Meski aku tahu, Engkau sanggup melakukan-Nya.
Aku hanya minta, tunjukkan mujizatmu kepada mereka yang tidak mempercayai-Mu.
Tuhan…
Kalau nanti aku meninggal.
Aku tidak ingin ada yang menangis.
Tapi aku ingin mereka tersenyum. Tersenyum karena aku bertahan hingga akhirnya.
Tuhan…
Malam ini aku tidak meminta apa-apa untuk diriku.
Jadilah kehendakmu di bumi seperti di Surga.
Karena aku tahu, bersama-Mu semuanya akan Engkau berikan.
AMINDetik berikutnya Daniel menatapku dengan lembut dan lemah. Perlahan-lahan matanya tertutup rapat. Air mataku jatuh berderai tak tertahan
No comments:
Post a Comment